Hidup ditengah pejabat yang mengaku sebagai wakil
rakyat, dan banyaknya partai yang katanya juga memperjuangkan nasib rakyat
sangatlah tidak mudah,sebab pejabat serta partai-partai tersebut tidak mampu
mengubah nasib rakyat, karena harga “Rakyat” di negri ini sangatlah mahal jika
diperdagangkan untuk kekuasaan. Pada tahun 1998, merupakan era reformasi dimana
banyak sekali kejadian yang melibatkan beberapa tokoh didalamnya, tokoh-tokoh
tersebut berjuang melawan pemerintah yang tidak pro dengan rakyat, mereka
melakukan perlawanan dengan cara apapun, meski banyak dari mereka yang harus
mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya dipenjarakan, diculik bahkan
dibunuh.
Seperti halnya Wiji Thukul, seorang seniman yang
memperjuangkan gagasannya ini sangat memberikan inspirasi. Lewat karyanya yang
berupa puisi, dapat menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Oleh karena
itu Wiji Thukul sering disebut penyair kerakyatan. Julukan tersebut di berikan
oleh rakyat pada masa itu, namun ia tidak mempedulikan dan meluruskan bahwa ia tidak
membela rakyat tetapi membela dirinya
sendiri. Semua karya Wiji Thukul menceritakan tentang keadaan lingkungannya,
tema yang diangkat tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Banyak sekali puisi
yang mengarah berupa sindiran keras terhadap pemerintah, hal tersebut merupakan
wujud pemberontakan Wiji, sehingga cukup menjelaskan bahwa Wiji Thukul tidak
membela siapapun, Cuma secara kebetulan dengan membela dirinya sendiri ternyata
juga menyuarakan hak-hak orang lain.
Pada saat itu Wiji Thukul menghindar dari kejaran jendral-jendral di Jakarta yang marah
menuding puisi Wiji Thukul ini menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah
orde baru. Sejak remaja Wiji Thukul banyak menciptakan sebuah karya sastra
.Karya-karya ciptaannya terkesan
berbeda, karena dalam penulisannya tidak membicarakan keindahan justru banyak
ucapan-ucapan protes akan kenyataan hidup rakyat yang sulit dijalani, hal ini
tampak berbeda dari kebanyakan seniman dimasanya yang karyanya tidak mengarah pada politik. Wiji Thukul melibatkan diri
dalam aktivitas politik pergerakan dan menentang keras rezim pemerintah politik
yang telah menciptakan keterpurukan rakyat. tetapi setelah rezim Soeharto tumbang,
Wiji tak pulang juga. banyak yang menduga bahwa wiji thukul menjadi korban
penculikan dan pembunuhan.
Hingga kini wiji thukul telah menjadi salah satu
legenda dalam sejarah politik pergerakan di Indonesia. Seperti yang terdapat
pada salah satu larik puisinya yang berjudul peringatan yang berbunyi “hanya
ada satu kata: Lawan!” menurut saya larik tersebut menjadi penyemangat bagi
kaum aktivis pergerakan rakyat. Meskipun Wiji Thukul telah hilang tanpa kabar
namun ide dan cita-citanya masih terus hidup melalui karyanya yang banyak diminati masyarakat. Bahkan sketsa
gambar wajahnyapun menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan para
penguasa yang menyengsarakan rakyat.
Hilangnya wji thukul bisa dijelaskan melalui teori
spiral kekerasan, dimana kekerasan akan terus melahirkan kekerasan lainnya seperti yang telah dicetuskan oleh tokoh
kemanusiaan Dom Helder Camara dalam bukunya berjudul Resist Book pada tahun
2005, ia menerangkan bahwa pada perabadan manusia selama ini persoalan terbesar yang selalu memicu konflik adalah
ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Apa yang telah dilakukan
oleh Wiji Thukul pada akhirnya telah menginspirasi banyak orang untuk mulai
berani mengkritik pemimpin, sebab lewat puisi-puisinya, Wiji Thukul mencoba
memperlihatkan bahwa perubahan kearah yang lebih baik harus selalu
diperjuangkan walau terkadang ada sesuatu yang harus dikorbankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar